Minggu, 19 Februari 2012

Sejarah Suku Dayak Punan Kalimantan


Belajar Mengenal Kehidupan Suku Dayak Punan, Suku-suku Dayak Di Kalimantan, Cara Hidup Suku Dayak Punan, Foto Suku Dayak Punan, Kehebatan Suku Dayak Punan

Punan adalah salah satu rumpun suku Dayak yang terdapat di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur. Dayak Punan juga tersebar di Sabah dan Serawak, Malaysia Timur yang menjadi bagian dari Pulau Kalimantan.


Populasinya paling banyak ditemukan di Kalimantan Timur diperkirakan berjumlah 8.956 jiw
a suku Punan yang tersebar pada 77 lokasi pemukiman.Punan sendiri memiliki 14 sub rumpun diantaranya Punan Hovongan, Punan Uheng Kereho dan Punan Kelay. Dihitung dari populasi keberadaan Dayak Punan ini kian tahun kian menurun bahkan cendrung punah.

Tetapi walau demikian mereka tetap saja tak pula berubah dengan pola adat istiadad dari leluhur mereka yang dipercayai.Dalam riwayat atau cerita, leluhur mereka ini asal-usulnya datang dari negeri yang bernama “Yunan “ sebuah daerah dari daratan Cina.


Mereka berasal dari keluarga salah satu kerajaan Cina yang kalah berperang yang kemudian lari bersama perahu-perahu, sehingga sampai ke tanah Pulau Kalimantan. Karena merasa aman, mereka lalu menetap di daratan tersebut.


Suku Primitif


Dari keseluruhan Suku Dayak, orang Punan inilah yang paling terbelakang baik budaya maupun kehidupan mereka. Secara umum mereka ini agak primitif dengan tinggal di goa-goa, anak-anak sungai dan lain sebagainya.

Mereka juga tak mengenal pakaian bagus dan kemajuan zaman. Lebih aneh lagi dari kehidupan masyarakat Punan ini adalah secara umum mereka merasa takut dan alergi terhadap Sabun. Entah apa sebabnya tak ada yang mengetahui secara pasti.Keadaan hidup primitif ini membawa mereka selalu berpindah pindah dari satu tempat ke tempat lainnya dan terus menghindar dari kelompok manusia lain. Dalam kepercayaan mereka para leluhur lah yang menghendaki demikian.


Ada banyak tanda yang diberikan semisal ada diantara mereka yang meninggal. Setelah dikubur, serentak mereka berpindah menuju daerah lain. Mereka sangat percaya kalau roh yang meninggal akan bergentayangan membuat mereka tak akan merasa tenteram. Warga Punan ini disebut juga warga pengembara dan hidup dalam satu kelompok tanpa berpisah-pisah.


Mereka juga senang dengan makanan yang masih mentah seperti sayur-sayuran hutan yang berasal dari pohon nibung atau banding (teras dala). Begitu pula dengan daun pakis, atau labu hutan yang memang tersedia banyak di hutan. Soal beras tak terlalu perlu bagi mereka. Makanan utama mereka adalah umbi dan umbut-umbutan hutan, ditambah dengan daging buruan yang mereka temukan.


Untuk daging ini pun jarang mereka masak. Jika ada binatang buruan yang didapat mereka lebih suka menjemur daging-daging tersebut di matahari panas sehingga menjadi daging asin atau dendeng.


Memiliki Kesaktian


Punan dipercaya sebagai orang gaib, manusia perkasa di hutan rimba. Mereka bisa menghilangkan diri hanya dengan berlindung di balik sehelai daun. Jejaknya sulit diikuti. Mereka berjalan miring dan sangat cepat. Tubuh mereka ringan karena tidak makan garam.

Orang Punan sangat ditakuti oleh suku lainnya karena merupakan suku yang berani dan berilmu tinggi. Mereka memiliki kelebihan insting dalam berburu dengan kecepatan luar biasa.


Selain kecepatan, suku Punan juga dianugerahi kekuatan fisik yang luar biasa, seorang perempuan saja bahkan dapat mengangkat motor perahu berkekuatan 40 PK dengan mudahnya. Padahal biasanya dibutuhkan dua orang pria untuk mengangkat benda berat tersebut.


Mungkin kekuatan tubuh yang di atas rata-rata mereka dapatkan dari tempaan alam. Orang-orang Punan ini juga memiliki kelebihan dengan penciuman mereka. Mereka tahu ada sesuatu melalui arah bertiupnya angin.


Hebatnya mereka bisa membedakan bau manusia, dan binatang-binatang dengan jarak yang cukup jauh. Walaupun dalam kondisi apapun mereka tahu kalau bau binatang atau manusia yang tercium membahayakan mereka.


Dayak Punan Hulu Barito: antara Ada dan Tiada

Punan adalah orang gaib, manusia perkasa di hutan rimba. Mereka bisa menghilangkan diri hanya dengan berlindung di balik sehelai daun. Jejaknya sulit diikuti. Mereka berjalan miring dan sangat cepat. Tubuh mereka ringan karena tidak makan garam.


Matahari baru saja terbenam. Remang petang mulai menjamah Desa Tumbang Karamu. Di sana sini tampak tiang-t
iang Toras sisa upacara Mandung dan DaLo menjulang gagah menantang langit.

Di hulu Barito ada tiga desa yang dianggap sebagai perkampungan orang Dayak Punan, yaitu Tumbang Karamu, Tumbang Tunjang, dan Tumbang Topus. Penduduk ketiga desa ini menyatakan bahwa mereka adalah keturunan orang Punan.

Namun, kalo kita bertanya pada mereka tentang Ot Siau atau Punan Berkaki Merah, mereka sendiri mengatakan tidak pernah melihat maupun bertemu. Namun mereka yakin bahwa Punan Berkaki Merah memang ada, dengan ciri unik, yaitu tangan dan kaki berwarna merah seperti kaki burung Siau.


Penduduk tiga desa itu membuat dua kategori Punan. Pertama, ”Punan Pemerintah”, yaitu orang-orang Punan yang bersedia tinggal-menetap di kampung. Kedua, Punan Siau yang tinggal di goa dan mengembara di rimba belantara. Orang-orang Karamu, Tunjang, dan Topus mengaku diri sebagai ”Punan Menetap”, serta bersaudara dengan Punan Siau yang dipercayai tinggal di hulu Sungai Borak.


Saudara dan leluhur


Siapakah orang Punan menurut orang Karamu, Tunjang, dan Topus? mereka pasti bilang bahwa orang Punan adalah leluhur mereka


Ketika dilakukan pemetaan partisipatif di Desa Tumbang Topus, didapat informasi bahwa dari 45 kepala keluarga hanya terdapat lima kepala keluarga yang tidak ada hubungan genealogis dengan Punan. Mereka adalah murni orang Siang-Murung atau Ot Danum.


Punan yang ”asli”, menurut orang-orang ini, adalah mereka yang tinggal di rimba belantara dan dalam goa-goa yang gelap. Kaki dan tangan mereka diwarnai merah dengan daun saronang atau jarenang. Seluruh tubuh mereka dilapis dengan sejenis jamur yang mengandung fosfor sehingga tampak menyala di kegelapan.

Dalam hal berburu, orang Punan Siau pantang membunuh binatang yang lengah. Jika bertemu dengan rusa yang sibuk memakan dedaunan, ia bertepuk tangan keras-keras untuk memberitahukan kehadirannya.


Ketika rusa itu terkejut dan lari, barulah ia memburunya. Mereka itulah pemburu sejati bersenjatakan sumpit, serta pantang menaklukan buruan dengan cara pengecut, yaitu mengintai diam-diam.


Sekalipun bisa bertutur banyak, tidak ada seorang pun dari penduduk tiga kampung itu pernah bertemu langsung dengan Punan Siau. Sabran dan beberapa orangtua lainnya hanya mengatakan pernah melihat jejak kaki, tetapi tidak pernah melihat orangnya. Menurut mereka, hal itu terjadi karena orang Punan Siau memiliki kata lamunan, yaitu mantra sakti untuk menghilangkan diri di balik sehelai daun.


Punan adalah kumpulan cerita menakjubkan. Dalam khazanah lokal Kalimantan, Punan selalu digambarkan sebagai manusia perkasa dan ahli berburu. Mereka dilihat sebagai orang yang berkekuatan supranatural tinggi. Mereka dapat menghilang dan mempunyai penciuman yang tajam. Alkisah, seekor kera akan jatuh dari pohon kalau memandang sinar mata orang Punan.


Mereka juga dilihat sebagai manusia istimewa penghuni hutan. Orang Punan juga memiliki pengetahuan akan obat-obat manjur, dari akar dan daun-daun kayu hutan. Konon, jika para perempuan Punan melahirkan, mereka akan sembuh dalam satu hari.


Kuburan Punan


Di Desa Tumbang Topus sudah tidak ada lagi yang murni Punan. Yang ada hanyalah campuran antara Punan dan orang Siang-Murung, Bahau, Benuaq, dan Ot Danum atau Kahayan. Toras, Potogor, dan Batang Pantar yang jumlahnya ada beberapa di kampung itu menunjukkan bahwa dalam ritual kematian mereka cenderung sebagai orang Ot Danum atau Siang Murung. Bagaimanakah mereka bisa mengidentifikasi diri sebagai keturunan Punan?


Jawaban atas pertanyaan di atas terdapat pada seonggok batu besar yang oleh orang setempat disebut dengan Batu Awu-BaLang. Melintasi Sungai Ponut, di antara rerimbunan pohon, terdapat bukit-bukit batu yang tersebar di sana-sini. Pada ceruk dinding salah satu bukit batu itu tampak tergolek dua tengkorak dan tulang-belulang manusia.


Menurut mereka, tengkorak dan tulang-belulang itu adalah milik dua tokoh Punan yang bernama Awu dan BaLang. Menjelang wafat, mereka mengamanatkan agar tulang-belulangnya jangan dikubur dalam tanah, tetapi diletakkan di ceruk batu, seperti layaknya orang Punan yang orang gunung atau bukit yang berdiam di goa batu.

Bagi orang Tumbang Topus, Batu Awu-BaLang bukanlah sekadar kuburan, tetapi merupakan monumen asal-usul diri karena di sana terdapat petunjuk bahwa leluhur mereka memanglah orang Punan.


Identitas Punan


Masyarakat Dayak di kaki Pegunungan Muller secara terbuka mengidentifikasi diri sebagai ”Punan Pemerintah” dan ”Punan Menetap”. Pengakuan ini hendak menegaskan bahwa mereka adalah ”orang kampung” yang berbeda dari Punan liar yang hidup di hutan, bebas-lepas dari kontrol pemerintah.


Namun, identitas diri sebagai Punan, bekas Punan, atau keturunan Punan pun diracik sedemikian rupa sehingga menjadi wacana jalur leluhur yang memungkinkan mereka untuk mengklaim gunung, sungai, dan hutan sebagai tempat hidup. Memang tanpa ada kaitan dengan masa lampau dan leluhur, mereka bukanlah apa-apa.


Pengetahuan tentang Punan bukan hanya monopoli pakar antropologi. Orang Dayak sendiri sangat aktif dalam membangun identitas dirinya. Sebagai internal agen, mereka aktif mengonstruksi diri. Di Tumbang Karamu, Tumbang Tujang, dan Tumbang Topus, dengan tegas mereka mengatakan ”Kami bukan Punan Habongkot, bukan Punan Kareho, dan juga bukan Punan Siau. Kami adalah Punan Murung.”

Hampir seabad yang lalu, Carl Lumholtz, seorang penjelajah asal Norwegia, telah melakukan ekspedisi Barito-Muller-Mahakam (1915-1916). Di hulu Sungai Busang ia bertemu dengan Punan Panyawung.


Namun kini, di awal abad ke-21, kalolah kita berkunjung ke hulu Sungai Murung, kita akan bertemu dengan Punan baru, yaitu Punan Murung, Punan yg sudah nggak asli lagi. Jadi, Punan itu ada dan tiada.